Negara Islam adalah seorang khalifah yang menerapkan hukum syara'.
Negara Islam merupakan kekuatan politik praktis yang berfungsi untuk menerapkan
dan memberlakukan hukum-hukum Islam, serta mengemban dakwah Islam ke seluruh
dunia sebagai sebuah risalah dengan dakwah dan jihad. Negara Islam inilah
satu-satunya thariqah yang dijadikan oleh Islam untuk menerapkan sistem
dan hukum-hukumnya secara menyeluruh dalam kehidupan dan masyarakat.
Inilah yang merupakan pilar hidup dan matinya Islam dalam kehidupan. Tanpa adanya negara, eksistensi Islam sebagai sebuah ideologi serta sistem kehidupan akan menjadi pudar; yang ada hanyalah Islam sebagai upacara ritual serta sifat-sifat akhlak semata. Karena itu, negara Islam harus tetap ada dan bukan hanya temporal keberadaannya.
Inilah yang merupakan pilar hidup dan matinya Islam dalam kehidupan. Tanpa adanya negara, eksistensi Islam sebagai sebuah ideologi serta sistem kehidupan akan menjadi pudar; yang ada hanyalah Islam sebagai upacara ritual serta sifat-sifat akhlak semata. Karena itu, negara Islam harus tetap ada dan bukan hanya temporal keberadaannya.
Negara Islam hanya
berdiri di atas landasan akidah Islam, dan akidah Islam inilah yang menjadi
asasnya. Secara syar'i akidah Islam, dalam keadaan apapun, tidak boleh terlepas
dari negara. Sehingga sejak pertama kali, ketika Rasulullah saw. membangun
sebuah kekuasaan di Madinah serta memimpin pemerintahan di sana, beliau segera
membangun kekuasaan dan pemerintahannya dengan landasan akidah Islam. Maka
setelah itu, ayat-ayat tentang perundang-undangan tidak pernah turun lagi.
Beliau telah menjadikan
syahadat La Ilaha Illa Allah Wa Anna Muhammadar Rasulullah sebagai asas
kehidupan bagi kaum muslimin, yang sekaligus merupakan asas dalam hubungan,
secara horisontal, di antara sesama manusia (baik muslim dengan muslim, muslim
dengan kafir dzimmi, maupun muslim dengan kafir harbi), termasuk dasar pijakan
untuk menjaga terjadinya kedzaliman, serta pijakan dalam menyelesaikan persengketaan.
Dengan kata lain, akidah Islam merupakan dasar bagi semua masalah kehidupan
termasuk landasan pemerintahan dan kekuasaan.
Hanya saja hal itu
belum cukup, sehingga Islam memerintahkan berjihad, bahkan mewajibkannya untuk
seluruh kaum muslimin agar akidah ini bisa mereka emban kepada seluruh manusia.
Rasulullah saw. bersabda:
"Aku diperintahkan untuk memerangi orang
hingga mereka menyatakan LA ILAHA ILLA ALLAH MUHAMMADUR RASULULLAH, maka bila
mereka menyatakannya darah dan harta mereka akan terlindungi dariku kecuali
dengan cara yang dibenarkan."
Bahkan, menjaga
keberlangsungan akidah Islam sebagai landasan negara hukumnya adalah fardlu
bagi seluruh kaum muslimin. Dimana beliau memerintahkan mereka agar mengangkat
senjata dan berperang bila kemudian telah nampak kekufuran yang nyata. Yaitu
apabila akidah Islam tidak lagi dijadikan sebagai landasan pemerintahan dan
kekuasaan.
Maka, ketika Rasulullah
saw. ditanya tentang pemerintahan yang dzalim: "Tidakkah kita perangi
saja mereka itu dengan pedang (wahai Rasulullah)?" beliau menjawab: "Jangan,
selagi mereka masih menegakkan shalat (hukum Islam)." Beliau juga
memerintahkan agar kaum muslimin tidak merebut bai'at dari tangan ulil amri
(khalifah) kecuali kalau mereka menyaksikan terjadinya kekufuran secara nyata.
Dalam hadits Auf Bin Malik tentang kebobrokan para pemimpin dinyatakan:
"Ditanyakan (kepada Rasul): 'Ya Rasulullah,
tidakkah kita perangi saja mereka itu dengan pedang?' Beliau menjawab: 'Jangan,
selama mereka masih menegakkan shalat (hukum Islam).'"
Dalam riwayat At Thabrani, beliau menyatakan dengan kata kufran
sharrahan (bukan kufran bawwahan). Sedangkan dalam riwayat lain:
"Kecuali jika kalian menyaksikan kemaksiatan kepada Allah
secara nyata."
Semuanya ini
membuktikan bahwa asas negara Islam adalah akidah Islam. Karena Rasulullah saw.
telah membangun kekuasaan berdasarkan asas tersebut. Bahkan, beliau
memerintahkan agar mengangkat pedang dalam rangka menjaga keberlangsungan
akidah sebagai landasan kekuasaan, serta memerintahkan berjihad dengan tujuan
menegakkan akidah tersebut.
Karena itu, negara Islam tidak diperbolehkan memiliki satu pun pemikiran, pemahaman, hukum ataupun standar yang tidak digali dari akidah Islam. Sebab, tidak cukup dengan menjadikan landasan negara Islam tersebut hanya sebatas nama, yaitu akidah Islam --namun dalam prakteknya tidak.
Karena itu, negara Islam tidak diperbolehkan memiliki satu pun pemikiran, pemahaman, hukum ataupun standar yang tidak digali dari akidah Islam. Sebab, tidak cukup dengan menjadikan landasan negara Islam tersebut hanya sebatas nama, yaitu akidah Islam --namun dalam prakteknya tidak.
Bahkan, adanya landasan itu harus
tercermin dalam segala hal yang berhubungan dengan keberadaan negara Islam.
Termasuk dalam hal-hal yang kecil maupun yang nampak menonjol dalam urusan negara
secara keseluruhan. Karena itu, negara Islam tidak diperbolehkan memiliki satu
pun konsep tentang kehidupan atau hukum selain yang lahir dari akidah Islam.
Akidah Islam pun tidak akan mentolelir konsep dan pemahaman apapun yang tidak
lahir dari sana.
Karena itu, negara
Islam tidak akan mentolelir konsep demokrasi untuk kemudian diadopsi dalam
tubuh negara Islam. Karena demokrasi bukan konsep yang lahir dari akidah Islam.
Disamping karena pemahaman-pemahaman yang lahir dari konsep Demokrasi tersebut
bertentangan dengan akidah Islam. Konsep Nasionalisme --yang lahir dari
demokrasi-- misalnya, dengan lebel apapun tetap tidak diperbolehkan. Karena
konsep tersebut tidak lahir dari akidah Islam. Disamping konsep-konsep yang
lahir dari akidah Islam telah mengecam dan mencegah serta menjelaskan
bahaya-bahayanya.
Konsep Patriotisme (wathaniyah), apapun dan
bagaimanapun bentuknya, tetap tidak diperbolehkan. Karena konsep tersebut lahir
bukan dari akidah Islam. Disamping karena Patriotisme bertentangan dengan konsep-konsep
yang lahir dari akidah Islam.
Begitu pula dalam
struktur negara Islam tidak terdapat kementerian sebagaimana dalam tradisi
pemahaman Demokrasi, termasuk pemahaman-pemahaman yang sama status hukumnya
dengan demokrasi, seperti pemahaman kekaisaran, monarchi, ataupun republik.
Karena semuanya itu tidak dilahirkan dari akidah Islam. Bahkan, semuanya tadi
bertentangan dengan konsep yang lahir dari akidah Islam.
Disamping, karena
dilarang melakukan muhasabah (koreksi) kepada negara Islam dengan
landasan selain akidah Islam, baik yang dilakukan oleh individu, gerakan maupun
organisasi yang lain. Bahkan, dilarang mendirikan gerakan, organisasi, atau
partai-partai dengan landasan selain akidah Islam. Karena dengan adanya akidah
Islam sebagai landasan sebuah negara, maka semuanya menjadi suatu keharusan.
Semuanya tadi diharuskan kepada penguasa
beserta seluruh rakyat yang diperintah oleh negara Islam.
Dengan dijadikannya
akidah Islam sebagai landasan negara Islam, maka mengharuskan undang-undang
dasarnya serta perundang-undangan yang lain harus digali dari kitabullah serta
sunnah Rasulullah. Allah SWT. telah memerintahkan kepada para penguasa agar
menerapkan hukum sesuai dengan apa yang diturunkan oleh Allah SWT. kepada
Rasul-Nya. Allah SWT. juga telah mengkleim orang-orang yang menerapkan hukum
dengan selain hukum yang diturunkan oleh-Nya sebagai orang kafir, apabila dia
meyakini apa yang dia terapkan. Juga yakin bahwa apa yang diturunkan oleh Allah
kepada Rasul-Nya tidak memiliki otoritas apa-apa. Namun, Allah SWT. hanya akan
mengkleim orang tersebut sebagai orang yang melakukan maksiat, baik fasik
maupun dzalim, apabila dia menerapkan hukum tersebut namun tidak meyakini
kebenaran hukum yang dia terapkan.
Sedangkan perintah
Allah SWT. kepada penguasa agar menerapkan hukum sesuai dengan hukum yang
diturunkan oleh Allah tadi telah ditetapkan berdasarkan Al Qur'an dan As Sunah.
Allah SWT. berfirman:
"Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya)
tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu sebagai hakim dalam perkara yang
mereka perselisihkan." (Q.S. An Nisa': 65)
"Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di
antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah." (Q.S. Al Maidah: 49)
Karena itulah, maka perundang-undangan negara Islam dibatasi hanya
berdasarkan hukum yang diturunkan oleh Allah SWT. Bahkan, Allah sendiri
mengancam orang yang menerapkan hukum selain hukum yang diturunkan-Nya, yaitu
hukum-hukum kufur, dengan firman-Nya:
"Dan barang siapa yang tidak menerapkan hukum dengan apa yang
diturunkan oleh Allah, maka mereka adalah orang-orang yang kafir."
(Q.S. Al Maidah: 44) Rasulullah
saw. juga bersabda:
"Setiap perbuatan yang tidak mengikuti
perintahku, maka perbuatan itu akan tertolak."
Semuanya ini
menunjukkan bahwa seluruh perundang-undangan negara Islam, baik undang-undang
dasar maupun undang-undang yang lain ditentukan hanya berdasarkan hukum-hukum
syara' yang digali dari akidah Islam. Yaitu hukum-hukum yang ada di dalam Al
Kitab dan As Sunah yang diturunkan oleh Allah SWT. kepada Rasul-Nya serta di
dalam sumber hukum yang ditunjukkan oleh keduanya, yaitu ijma' sahabat
dan qiyas (dalil analogi berdasarkan illat dan ma'lul).
Tatkala seruan As
Syari' (Allah) tersebut berhubungan dengan aktivitas manusia serta
mengharuskan seluruh manusia dalam setiap aktivitasnya terikat dengan seruan
tersebut, maka sistem yang berhak mengatur aktivitas tersebut harus dibuat oleh
Allah SWT. Dimana syari'at Islam diturunkan berhubungan dengan seluruh
aktivitas manusia beserta seluruh hubungan mereka, baik hubungan mereka, secara
vertikal, dengan Allah atau dengan diri mereka sendiri maupun hubungan mereka,
secara horisontal, dengan sesamanya.
Karena itu, di dalam Islam tidak ada tempat untuk membuat undang-undang negara, yang bersumber dari produk otak manusia, yang dipergunakan untuk mengatur seluruh hubungan mereka. Sebab, mereka semua terikat dengan hukum syara'. Allah SWT. berfirman:
Karena itu, di dalam Islam tidak ada tempat untuk membuat undang-undang negara, yang bersumber dari produk otak manusia, yang dipergunakan untuk mengatur seluruh hubungan mereka. Sebab, mereka semua terikat dengan hukum syara'. Allah SWT. berfirman:
"Dan apa yang telah dibawa oleh Rasulullah, maka ambillah.
Serta apa yang dicegah olehnya, maka tinggalkanlah." (Q.S. Al Hasyr:
7)
"Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak
(pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya tekah menetapkan
suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan
mereka." (Q.S. Al Ahzab: 36)
Rasulullah SAW. juga bersabda:
"Sesungguhnya Allah telah memfardlukan
beberapa kewajiban, maka janganlah kalian melenyapkannya. Dan Dia telah melarang
beberapa hal, maka janganlah kalian melanggarnya. Dia juga telah menetapkan batasan-batasan, maka
janganlah kalian melampauinya."
"Dan barang siapa yang membuat-buat (hal
baru) dalam urusanku ini, yang tidak ada tuntunannya maka perbuatan (yang baru)
tersebut tertolak."
Karena itu,
esensinya Allah-lah yang mensyari'atkan hukum, dan bukan penguasa. Dia-lah
sesungguhnya yang telah memaksa seluruh manusia termasuk penguasa, agar
mengikuti-Nya dalam mengatur seluruh hubungan serta aktivitas mereka. Disamping
telah membatasi mereka hanya dengan hukum tersebut, dan melarang mereka untuk
mengikuti hukum yang lain.
Karena itu, tidak ada
tempat bagi manusia di dalam negara Islam untuk membuat hukum yang dipergunakan
untuk mengatur seluruh hubungan manusia, termasuk di antaranya adalah membuat
undang-undang dasar atau perundang-undangan yang lain. Dan tidak ada tempat
lagi bagi penguasa untuk memaksa manusia atau memberikan alternatif kepada
mereka agar mengikuti ketentuan serta hukum buatan manusia dalam mengatur
interaksi mereka.
Dengan asas akidah
Islam itulah, Rasulullah saw.
benar-benar telah berhasil mendirikan negara Islam di Madinah Al
Munawwarah. Dimana di atas asas
tersebut, tegaklah dasar, pilar, struktur, pasukan serta hubungan ke dalam dan
ke luar negara beliau. Maka, semenjak beliau datang ke Madinah beliau langsung
memimpin kaum muslimin, melayani kepentingan mereka, me-manage
urusan-urusan mereka, membentuk masyarakat Islam, serta mengadakan perjanjian
dengan orang Yahudi. Baru kemudian dengan Bani Dhamrah serta Bani Mudlij, lalu
dengan orang kafir Quraisy, penduduk Ailah, Jarba' dan Adzrah.
Beliau melakukan perjanjian agar jangan sampai ada orang yang menghalang-halangi orang yang akan menunaikan ibadah haji. Juga agar tidak seorang pun yang ditakut-takuti pada syahrul haram (bulan Dzulqa'dah, Dzulhijjah, Muharram, serta Rajab). Beliau juga pernah mengirim Hamzah Bin Abdul Muthallib, Muhammad Bin Ubaidah Bin Al Harits, serta Sa'ad Bin Abi Waqas dalam sebuah detasmen untuk menyerang penduduk Dumatul Jandal. Dalam beberapa pertempuran, kadang beliau sendiri yang memimpin langsung pasukannya.
Bahkan beliau juga terjun langsung dengan pasukannya dalam sebuah pertempuran yang dahsyat. Beliau juga pernah mengangkat para wali (pemimpin daerah tingkat I) untuk daerah-daerah tertentu, serta para amil (pemimpin daerah tingkat II) untuk beberapa negari. Beliau pernah menunjuk Utab Bin Usaid untuk menjadi wali di Makkah setelah kota ini ditaklukkan. Kemudian setelah Badzan Bin Sasan memeluk Islam, dia diminta untuk menjadi wali di Yaman.
Beliau juga pernah mengangkat Mu'ad Bin Jabal Al Khazraji untuk menjadi wali di Janad. Khalid Bin Walid menjadi amil di Shun'a'. Ziyad Bin Lubaid Bin Tsa'labah Al Anshari menjadi wali di Hadramaut. Abu Musa Al Asy'ari menjadi wali di Zabid dan Adn. Amru Bin Al Ash di Oman. Abu Dujanah menjadi amil di Madinah.
Beliau melakukan perjanjian agar jangan sampai ada orang yang menghalang-halangi orang yang akan menunaikan ibadah haji. Juga agar tidak seorang pun yang ditakut-takuti pada syahrul haram (bulan Dzulqa'dah, Dzulhijjah, Muharram, serta Rajab). Beliau juga pernah mengirim Hamzah Bin Abdul Muthallib, Muhammad Bin Ubaidah Bin Al Harits, serta Sa'ad Bin Abi Waqas dalam sebuah detasmen untuk menyerang penduduk Dumatul Jandal. Dalam beberapa pertempuran, kadang beliau sendiri yang memimpin langsung pasukannya.
Bahkan beliau juga terjun langsung dengan pasukannya dalam sebuah pertempuran yang dahsyat. Beliau juga pernah mengangkat para wali (pemimpin daerah tingkat I) untuk daerah-daerah tertentu, serta para amil (pemimpin daerah tingkat II) untuk beberapa negari. Beliau pernah menunjuk Utab Bin Usaid untuk menjadi wali di Makkah setelah kota ini ditaklukkan. Kemudian setelah Badzan Bin Sasan memeluk Islam, dia diminta untuk menjadi wali di Yaman.
Beliau juga pernah mengangkat Mu'ad Bin Jabal Al Khazraji untuk menjadi wali di Janad. Khalid Bin Walid menjadi amil di Shun'a'. Ziyad Bin Lubaid Bin Tsa'labah Al Anshari menjadi wali di Hadramaut. Abu Musa Al Asy'ari menjadi wali di Zabid dan Adn. Amru Bin Al Ash di Oman. Abu Dujanah menjadi amil di Madinah.
Ketika beliau menunjuk
para wali tersebut, beliau senantiasa memilih orang yang paling sempurna dalam
melaksanakan tugasnya di antara mereka, untuk menjadi wali atau amil beliau.
Beliau juga senantiasa menanamkan iman dalam benak mereka yang akan diterjunkan
ke daerah yang telah ditentukan oleh beliau. Beliau juga selalu menanyai mereka
tentang cara yang akan mereka pergunakan dalam menentukan keputusan mereka.
Diriwayatkan dari beliau, bahwa beliau pernah bertanya kepada Mu'ad Bin Jabal
Al Khazraji, ketika beliau mengutusnya ke Yaman:
"Dengan apa kamu akan memutuskan (suatu
perkara)?, (Mu'ad) menjawab: 'Dengan kitab Allah'. Beliau bertanya: 'Jika kamu
tidak menemukan?', (Mu'ad) menjawab: 'Dengan sunah Rasul-Nya'. Beliau bertanya
lagi: 'Jika kamu tidak menemukannya?' (Mu'ad) menjawab: 'Saya akan berijtihad
dengan pendapatku'. Beliau lalu bersabda: 'Segala puji hanya milik Allah, yang
telah memberikan taufik kepada utusan Rasulullah dengan sesuatu yang amat
dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya."
Diriwayatkan juga bahwa ketika Nabi saw. menunjuk Aban Bin Sa'id
menjadi wali di Bahrain, beliau bersabda kepadanya:
"Mintalah nasihat kebajikan kepada Abdi Qais
serta muliakanlah penduduknya."
Rasulullah saw. selalu mengutus orang yang terbaik, yang telah masuk
Islam. Beliau biasanya memerintahkan mereka agar mengajari masalah agama kepada
orang-orang yang baru masuk Islam, serta mengambil zakat dari mereka. Dalam
berbagai keadaan, beliau menyerahkan urusan tersebut kepada para wali agar wali
tersebut yang menarik zakat. Beliau juga menyerukan kepada mereka agar
memberikan kabar gembira kepada seluruh manusia, serta mengajarkan Al Qur'an
kepada mereka, dan mendidik mereka dalam hal keagamaan hingga betul-betul faqih
(ahli).
Beliau juga mengingatkan mereka agar tidak bersikap lemah dalam masalah yang jelas-jelas benar. Bahkan, beliau menganjurkan agar bersikap keras terhadap kedzaliman. Dan mencegah orang-orang agar tidak memprovokasikan kesukuan dan ras tertentu, sehingga provokasi mereka hanya kepada Allah semata, yang tidak akan mereka persekutukan dengan apapun yang lain. Serta mengambil khumus al amwal (1/5 dari harta temuan) dan sedekah-sedekah yang telah telah diwajibkan atas kaum muslimin (zakat mal dan sejenisnya).
Beliau juga mengingatkan mereka agar tidak bersikap lemah dalam masalah yang jelas-jelas benar. Bahkan, beliau menganjurkan agar bersikap keras terhadap kedzaliman. Dan mencegah orang-orang agar tidak memprovokasikan kesukuan dan ras tertentu, sehingga provokasi mereka hanya kepada Allah semata, yang tidak akan mereka persekutukan dengan apapun yang lain. Serta mengambil khumus al amwal (1/5 dari harta temuan) dan sedekah-sedekah yang telah telah diwajibkan atas kaum muslimin (zakat mal dan sejenisnya).
Orang Yahudi dan
Nasrani yang telah memeluk Islam dengan tulus dari lubuk hati mereka sendiri,
maka mereka adalah orang-orang mukmin. Dimana mereka berhak mendapatkan hak dan
kewajiban sebagaimana layaknya orang mukmin yang lain. Sedangkan mereka yang
tetap dalam kenasranian dan keyahudiannya, tetap akan dilindungi. Sebagaimana
yang tertuang dalam pernyataan Rasulullah kepada Mu'ad Bin Jabal, saat beliau
mengutusnya ke Yaman:
"Sesungguhnya kamu akan mendatangi kaum ahli kitab, maka
hendaklah yang pertama kali kamu sampaikan kepada mereka adalah ibadah kepada
Allah. Jika mereka telah mengenal Allah, sampaikan kepada mereka bahwa Allah
memfardlukan kepada mereka zakat yang akan diambil dari mereka yang kaya,
kemudian akan diberikan kepada yang miskin. Jika mereka menaatinya, maka
ambillah (zakat) dari mereka, dan kehormatan hartanya pun akan dijaga.
Berhati-hatilah, terhadap doa orang-orang yang terdzalimi. Sebab antara mereka
dengan Allah tidak terdapat hijab (tabir pemisah)."
Dalam keadaan tertentu Rasulullah saw. mengirim orang khusus untuk
mengurusi masalah harta. Karenanya, setiap tahun Rasul selalu mengutus Abdullah
Bin Rawwahah kepada orang-orang Yahudi Khaibar untuk memungut kharaj
dari hasil tanaman mereka. Mereka pernah mengadu kepada utusan Rasul tersebut
karena beban pemungutannya terlampau berat, lalu mereka ingin menyogok Abdullah
Bin Rawwahah.
Mereka kemudian mengumpulkan cincin istri-istri mereka. Dan mereka katakan kepada Abdullah: "Ini (hadiah) untukmu dan peringanlah (pungutan) yang menjadi beban kami. Dan bagilah secara merata." Abdullah kemudian menjawab: "Hai orang-orang Yahudi, (dengarkan) bagi kami kalian adalah orang yang paling dimurkai Allah. Harta ini tidak akan aku ambil dengan harapan aku akan memperingan (pungutan) yang menjadi kewajiban kalian. Suap yang kalian berikan ini, sesungguhnya merupakan suht (harta haram). Dan sungguh kami tidak akan memakannya." Mereka kemudian berkomentar: "Karena sikap seperti inilah, maka langit dan bumi ini senantiasa tetap akan tegak."
Mereka kemudian mengumpulkan cincin istri-istri mereka. Dan mereka katakan kepada Abdullah: "Ini (hadiah) untukmu dan peringanlah (pungutan) yang menjadi beban kami. Dan bagilah secara merata." Abdullah kemudian menjawab: "Hai orang-orang Yahudi, (dengarkan) bagi kami kalian adalah orang yang paling dimurkai Allah. Harta ini tidak akan aku ambil dengan harapan aku akan memperingan (pungutan) yang menjadi kewajiban kalian. Suap yang kalian berikan ini, sesungguhnya merupakan suht (harta haram). Dan sungguh kami tidak akan memakannya." Mereka kemudian berkomentar: "Karena sikap seperti inilah, maka langit dan bumi ini senantiasa tetap akan tegak."
Rasulullah saw. juga
senantiasa mengorek keadaan para wali dan amil beliau. Beliau juga
memperhatikan informasi-informasi tentang mereka yang disampaikan kepada
beliau. Beliau pernah memberhentikan Ila' Bin Al Hadhrami dari jabatannya
sebagai amil beliau di Bahrain, karena ada utusan dari Abdi Qaid yang
mengadukannya kepada Nabi. Dan Rasul pun memenuhi kritik yang ditujukan kepada
amil beliau. Beliau juga selalu mengontrol anggaran dan pengeluaran mereka.
Rasul juga telah
mempergunakan seseorang yang secara khusus mengambil zakat. Maka tatkala
kembali, beliau mengontrolnya kemudian orang tersebut mengatakan: "Ini
untukmu (Ya Rasul), sedangkan ini telah dihadiahkan kepadaku." Beliau
lalu bersabda:
"Mengapa bisa terjadi pada orang yang aku
utus untuk melaksanakan tugas tertentu yang Allah berikan kepada kami, lalu
mengatakan: 'Ini adalah untukmu, sedangkan yang ini telah dihadiahkan
kepadaku.' Mengapa dia tidak tinggal diam di rumah bapak-ibunya saja lalu kita
lihat, apakah dia akan mendapat hadiah atau tidak."
Beliau melanjutkan sabdanya:
"Orang yang telah kami tugaskan untuk
melaksanakan amal tertentu, kemudian kami bayar dengan bayaran tertentu, maka
jika masih mendapatkan di luar itu tidak ada lain kecuali ghulul (harta
haram)."
Penduduk Yaman pernah melapor tentang bacaan yang dibaca Mu'ad Bin
Jabal ketika menjadi imam shalat, yang terlampau panjang, maka Nabi segera
menegurnya. Dan beliau bersabda:
"Barang siapa yang menjadi imam orang lain
(dalam shalat) hendaknya memperingan (bacaannya)."
Nabi saw. pernah mengangkat para qadli untuk
menegakkan hukum di tengah-tengah rakyat. Beliau pernah mengangkat Ali Bin Abi
Thalib sebagai qadli di Yaman dan Abdullah Bin Naufal sebagai qadli di Madinah.
Beliau juga pernah menugaskan Mu'ad Bin Jabal dan Abu Musa Al Asy'ari untuk
menjadi qadli di Yaman (Yaman Utara dan Selatan). Rasul pernah menanyai mereka
berdua:
"Dengan apa kalian (berdua) akan
menghukumi?" Mereka berdua menjawab: 'Jika kami tidak menemukannya di
dalam Al Kitab dan As Sunah, kami akan menganalogkan (mengqiyaskan) satu
masalah dengan masalah lain. Mana yang lebih mendekati kepada kebenaran, maka
itulah yang akan kami pergunakan.'"
Dan Nabi pun membenarkannya. Sikap beliau ini menunjukkan, bahwa
beliau senantiasa memilih para qadli serta menentukan tata cara mereka
mengambil keputusan. Dan ternyata tidak hanya menentukan para qadli biasa,
bahkan beliau menetapkan qadli madhalim (PTUN). Beliau pernah menugaskan
Rasyid Bin Abdullah sebagai kepala qadli sekaligus qadli madhalim. Kemudian,
beliau memberikan wewenang kepadanya untuk memutuskan perkara-perkara
kedzaliman.
Nabi saw. juga mengatur
seluruh kepentingan rakyat. Beliau mengangkat para penulis untuk mengatur
kepentingan tersebut. Mereka itu layaknya seperti dirjen sebuah departemen. Ali
Bin Abi Thalib adalah penulis perjanjian, apabila Nabi sedang melakukan
perjanjian serta penulis perdamaian, apabila beliau sedang melakukan perdamaian.
Harits Bin Auf Al Mari mengurusi cincin beliau (yang menjadi stemple negara
beliau). Mu'aiqib Bin Abi Fatimah menjadi penulis ganimah (harta hasil
rampasan perang, setelah mengalami kemenangan dalam peperangan). Hudzaifah
menjadi pencatat hasil pendapatan tanah Hijaz. Zubeir Bin Awwam menjadi
pencatat zakat. Mughirah Bin Syu'bah menjadi pencatat hutang-hutang serta
transaksi-transaksi mu'amalah. Surahbil Bin Hisan menjadi penulis surat kepada
raja-raja. Dalam setiap urusan beliau selalu mengangkat notulen
(penulis), yang bertugas mengurus urusan tersebut meskipun yang diurusi juga
beragam kepentingannya.
Nabi saw. sering
bermusyawarah dengan para sahabat beliau. Beliau tidak pernah lepas dari
saran-saran ahli ra'yu (para pemikir) serta orang yang beliau pandang
memiliki kecemerlangan berfikir dan kelebihan. Dimana mereka semua memberikan
penjelasan berdasarkan kekuatan iman serta ketakwaan mereka, dalam rangka
menyebarkan dakwah Islam. Mereka berjumlah, tujuh orang dari kaum Anshar dan
tujuh yang lainnya dari kaum Muhajirin.
Diantaranya adalah Hamzah, Abu Bakar, Ja'far, Ali, Umar, Ibnu Mas'ud, Salman, Ammar, Hudzaifah, Abu Dzar, Miqdad, dan Bilal Bin Rabbah. Beliau juga pernah meminta pendapat kepada yang lain, selain mereka. Hanya saja bedanya, frekwensi beliau bermusyawarah dengan mereka lebih intens. Jadi, mereka layaknya adalah seperti majelis syura.
Diantaranya adalah Hamzah, Abu Bakar, Ja'far, Ali, Umar, Ibnu Mas'ud, Salman, Ammar, Hudzaifah, Abu Dzar, Miqdad, dan Bilal Bin Rabbah. Beliau juga pernah meminta pendapat kepada yang lain, selain mereka. Hanya saja bedanya, frekwensi beliau bermusyawarah dengan mereka lebih intens. Jadi, mereka layaknya adalah seperti majelis syura.
Nabi saw. telah
menetapkan harta atas kaum muslimin serta yang lain, termasuk atas tanah, hasil
panen, serta hewan, yang berupa zakat, usyur (pungutan 1/10 di daerah
perbatasan), fai' (harta rampasan yang telah ditinggal oleh pemiliknya
tanpa terjadinya peperangan), kharaj, jizyah. Dimana anfal
serta ghanimah tersebut menjadi milik baitul mal. Sedangkan distribusi
zakat, diberikan kepada delapan kelompok, yang telah dinyatakan di dalam Al
Qur'an. Dan sedikit pun tidak akan diberikan kepada kelompok yang lain.
Begitu pula dalam urusan negara, negara Islam tidak akan mengambil sedikitpun dari sana. Untuk melayani kebutuhan rakyat, mereka akan disuplay dengan harta yang berasal dari fai', kharaj, jizyah, serta ghanimah.
Semuanya itu cukup untuk mengurusi kebutuhan negara beserta angkatan bersenjatanya. Dan negara tidak akan pernah merasa membutuhkan lagi harta yang lain.
Begitu pula dalam urusan negara, negara Islam tidak akan mengambil sedikitpun dari sana. Untuk melayani kebutuhan rakyat, mereka akan disuplay dengan harta yang berasal dari fai', kharaj, jizyah, serta ghanimah.
Semuanya itu cukup untuk mengurusi kebutuhan negara beserta angkatan bersenjatanya. Dan negara tidak akan pernah merasa membutuhkan lagi harta yang lain.
Demikianlah, Rasulullah
saw. membangun struktur negara Islam sendiri, kemudian beliau sempurnakan
semasa hidup beliau. Dan beliaulah yang menjadi kepala negaranya. Beliau juga
memiliki dua mu'awin (pembantu), wali, amil, qadli, pasukan, dirjen
departemen-dirjen departemen serta majelis syura. Struktur ini, dengan segala
bentuk dan otoritasnya, adalah thariqah yang wajib diikuti. Semuanya
tadi telah dinyatakan berdasarkan riwayat yang mutawatir.
Rasulullah saw.
senantiasa menjalankan tugas sebagai kepala negara semenjak tiba di Madinah hingga
beliau wafat, sementara Abu Bakar dan Umar Bin Khattab adalah mu'awin beliau.
Para sahabat, sepeninggal beliau, juga
telah sepakat untuk mengangkat kepala negara yang menjadi penerus Rasulullah
saw. dalam memimpin negara, bukan sebagai penerus kerasulan dan penerus
kenabian. Sebab, kenabian dan kerasulan ini telah berakhir pada beliau saja.
Demikianlah Rasulullah saw. telah membangun struktur negara secara sempurna
dalam kehidupan beliau. Beliau telah meninggalkan bentuk pemerintahan dan
struktur negara yang telah sedemikian dikenal dan teramat jelas.
0 komentar