-->

Perbedaan jelas antara musyawarah dengan demokrasi

Banyak sekali tokoh Islam yang mengatakan bahwa musyawarah (syura) sama dengan demokrasi. Menurut mereka, baik musyawarah maupun demokrasi, sama-sama melibatkan orang banyak untuk mengambil suatu pendapat tertentu. Kemudian mereka mengutip ayat “Orang-orang yang mematuhi seruan Tuhan mereka, melaksanakan sholat (dengan sempurna), serta urusan mereka diputuskan dengan musyawarah antar mereka” (QS. Asy Syura 38) atau ayat “
Disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan (tertentu). Kemudian jika engkau telah membulatkan tekad (azam), bertawakkallah kepada Allah.”(QS Ali ‘Imran 159). Lalu mereka mengatakan bahwa musyawarah adalah perintah Allah, sementara musyawarah sama dengan demokrasi, maka demokrasi juga perintah Allah.
Benarkah bahwa musyawarah sama dengan demokrasi? Benarkah demokrasi itu perintah Allah?
Agar masalah ini menjadi jelas, kita akan membahas dahulu fakta dari musyawarah dan demokrasi. Dengan memahami fakta keduanya, kita bisa menarik kesimpulan dengan benar, apakah keduanya memang sama atau berbeda. Bagi yang ingin memperdalam masalah ini, dapat mengkaji kitab Syeikh Abdul Qadim Zallum dalam kitab Ad-dimuqrathiyah nizham kufr.
******
Kata musyawarah berasal dari bahasa arab, yang kata dasarnya adalah syawara. Secara bahasa, syawara memiliki banyak makna, antara lain adalah mengeluarkan madu dari sarang lebah (istikhraj al-‘asl min qursh asy-syama’); memeriksa tubuh budak dan binatang ternak pada saat pembelian (tafahhush badan al-amah wa ad-dabbah ‘inda asy-syira’); menampakkan diri dalam medan perang (isti‘radh an-nafs fi maydan al-qital); dan sebagainya. (Ibn Manzhur dalam Lisan al-‘Arab, jilid II halaman 379-381).
Adapun makna syar’i dari muasyawarah adalah mengambil suatu pendapat (akhdzu ar-ra’yi). Maksudnya, musyawarah adalah mengambil pendapat dari orang yang diajak bermusyawarah (thalab ar-ra’yi min al-mustasyar). Misalnya, seorang pemimpin mengajak musyawaroh tentang suatu hal dengan stafnya untuk mengambil pendapat atau keputusan tertentu, atau seorang suami mengajak musyawaroh dengan istrinya untuk mengambil pendapat atau keputusan tentang suatu hal. Jadi, musyawaroh di sini adalah mengambil atau meminta pendapat orang lain tentang suatu hal.

Bagaimanakah hukum musyawarah di dalam islam? Hukum melakukan musyawarah sendiri menurut Islam adalah sunnah, bukan wajib. Hal ini disampaikan oleh para ahli tafsir, misalnya Ibn Jarir ath-Thabari (Jami‘ al-Bayan, IV/153) dan Imam Al-Qurthubi (Al-Jami‘ li Ahkam al-Qur’an, IV/249-252) saat beliau menafsirkan surat Ali Imran ayat 159.
Lalu, apakah dalam musyawarah, pendapat yang diambil selalu berdasarkan suara mayoritas seperti halnya dalam demokrasi? Memang, dalam sistem demokrasi suara mayoritaslah yang menjadi penentu dalam segala bidang permasalahan. Sebaliknya, dalam musyawarah, kriteria pendapat yang diambil bergantung pada bidang permasalahan yang dimusyawarahkan. Rinciannya, adalah sebagai berikut:
Pertama, dalam masalah penentuan hukum syariah, kriterianya tidak bergantung pada pendapat mayoritas atau minoritas, melainkan pada nash-nash syariah (nash al-Quran dan as-Sunnah). Sebab, yang menjadi pembuat hukum hanyalah Allah, bukan umat atau rakyat. Dalam masalah yang sudah qoth’i, bahkan tak perlu ada musyawarah lagi. Sebagai contoh, apakah zina halal (legal) atau haram (ilegal)? Apakah minuman keras (khamr) haram atau tidak? Dalam hal ini, ketentuannya hanya diambil dari qur’an dan sunnah. Tidak ada pendapat manusia dalam masalah seperti ini, baik itu pendapat mayoritas atau minoritas.
Sementara dalam masalah dzanni yang diperselisihkan maka yang diambil adalah yang didasarkan pada dalil yang lebih rajih. Jika hal itu menyangkut masalah publik yang perlu disatukan, maka keputusan diambil oleh khalifah (imam) berdasarkan dalil yang paling rajih. Hal ini sebagaimana kaidah syara’ “amrul imam yarfa’u al khilaf (keputusan imam atau khilafah dapat menghilangkan perbedaan)”. Sementara, jika hal itu dalam urusan pribadi, maka khalifah tidak boleh mengadopsi hukum tertentu, dan keputusan diserahkan kepada masing-masing individu rakyat.
Kedua, dalam masalah yang berhubungan dengan hal-hal yang membutuhkan keahlian, pemikiran, dan pertimbangan yang mendalam, maka yang dijadikan kriteria adalah ketepatan atau kebenarannya, bukan berdasarkan suara mayoritas atau minoritas. Jadi, masalah yang ada harus dikembalikan kepada para ahlinya yang berkompeten. Merekalah yang dapat memahami permasalahan yang ada dengan tepat. Bukan ditetapkan berdasarkan suara mayoritas rakyat. Masalah-masalah kemiliteran dikembalikan kepada para pakar militer. Masalah-masalah medis dikembalikan kepada para dokter spesialis. Masalah-masalah teknik dikembalikan kepada para pakar insinyur teknik. Demikianlah seterusnya.
Ketiga, dalam masalah-masalah teknis yang bersifat praktis, yang tidak memerlukan pemikiran dan pertimbangan mendalam, dan yang melibatkan banyak orang, maka yang menjadi patokan adalah suara mayoritas. Sebab, mayoritas orang dapat memahaminya dan dapat memberikan pendapatnya dengan mudah menurut pertimbangan kemaslahatan yang ada. Contohnya adalah seperti: saat masyarakat mau kerja bakti untuk membangun jalan kampung, apakah dilaksanakan hari ahad atau sabtu, tentu dalam hal ini suara mayoritas menjadi penentu. Contoh lain: Saat sekelompok warga bepergian, kemudian mereka bermusyawarah, apakah akan menempuh perjalanan pada pagi hari atau malam hari; apakah akan naik pesawat terbang, kapal laut, atau kereta api. Masalah-masalah seperti ini ditentukan dengan suara mayoritas.
Itulah musyawarah dan hukumnya di dalam Islam. Dalam sistem pemerintahan islam (khilafah), musyawarah hanyalah sebuah mekanisme pengambilan pendapat, sebagai bagian dari proses sistem pemerintahan, bukan substansi dan tujuan adanya pemerintahan.
*****
Sementara demokrasi, bukan hanya sekadar proses pengambilan pendapat berdasarkan mayoritas, namun sebuah jalan hidup (the way of life) yang holistik, yang direpresentasikan dalam sistem pemerintahan menurut peradaban Barat. Demokrasi adalah sebuah tipe sistem pemerintahan, yang menurut priseden AS Lincoln “demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.” Jadi, rakyat itulah yang memiliki kedaulatan. Kedaulatan atau hak tertinggi dalam mengambil keputusan berada di tangan rakyat. Artniya segala hal, baik-buruk, dan halal-haram diserahkan semuanya kepada rakyat.
Sistem demokrasi adalah sistem pememrintahan yang memiliki ciri: pertama berlandaskan pada falsafah sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan), kedua dibuat oleh manusia, dan ketiga didasarkan pada dua ide pokok, yaitu: (1) kedaulatan di tangan rakyat dan (2) rakyat sebagai sumber kekuasaan, memegang prinsip suara mayoritas dan menuntut kebebasan individu (freedom) agar kehendak rakyat dapat diekspresikan tanpa tekanan.
Inilah inti dari demokrasi. Memang ada banyak versi dari demokrasi, tetapi intinya adalah seperti ini. Demokrasi tak akan mengijinkan selain rakyat untuk berdaulat. Dalam demokrasi, Allah boleh disembah, namun Allah tidak diijinkan untuk berdaulat. Hukumnya Allah boleh dipakai, asalkan pemilik kedaulatan mengijinkannya. Artinya hukumnya Allah boleh digunakan, asal disetujui oleh rakyat. Itu pun harus disetujui satu hukum per satu hukum. Jika ada satu hukum yang tidak disetujui rakyat, maka hukumnya Allah tidak bisa dilaksanakan, meskipun itu sesuatu yang qoth’i, misalnya haramnya minum khamr atau haramnya zina.
*****
Itulah fakta musyawarah dan demokrasi. Jika kita memperhatikan, memang ada beberapa persamaan. Persamaan itu misalnya, seorang pemimpin dipilih oleh rakyat, dan pemimpin bekerja untuk kepentingan rakyat. Namun, ada perbedaan yang sangat mendasar antara musyawarah dengan demokrasi. Pertama, musyawarah hanyalah salah satu mekanisme pengambilan pendapat, sementara demokrasi adalah sistem pemerintahan. Kedua, musyawarah hanya dilakukan pada sesuatu yang hukumnya mubah secara syar’i, sementara demokrasi dilaksanakan pada hal apapun. Ketiga, para musyawirin dalam islam saat melakukan musyawarah sangat memahami bahwa kedaulatan tertinggi ada pada Allah, sementara dalam demokrasi, kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat.
Adanya persamaan antara syura dan demokrasi dalam beberapa hal, terkadang digunakan untuk MENYESATKAN masyarakat bahwa seakan-akan demokrasi sama dengan musyawarah. Demokrasi sering diungkapkan hanya sekedar MEMILIH pemimpin secara bebas oleh rakyat. Pemilihan pemimpin secara bebas oleh rakyat sebetulnya bukan hanya milik demokrasi, Islam pun juga demikian. Namun seakan-akan DIKLAIM ini hanya milik demokrasi. Substansi demokrasi bukan masalah pemilihan kepemimpinan, tetapi sistem pemerintahan dimana RAKYAT BERDAULAT.
Dengan memperhatikan falsafah demokrasi, yaitu sekularisme, jurang perbedaan musyawarah dan demokrasi akan semakin lebar. Sedemikian lebarnya sehingga mustahil terjembatani. Sebab, musyawarah lahir dari akidah Islam. Musyawarah adalah hukum syariah yang dilaksanakan sebagai bagian dari perintah Allah. Sebaliknya, demokrasi lahir dari rahim ide sekularisme YANG SANGAT ALERGI DENGAN SYARIAH ISLAM. Bahkan, sekulerisme sendiri adalah paham yang menyatakan bahwa agama tidak boleh dibawa-bawa dalam mengatur urusan kehidupan atau urusan kenegaraan. Agama itu hanyalah urusan manusia dengan tuhannya, urusan privat.
Terakhir, menyamakan syura dengan demokrasi bagaikan menyamakan ayam dengan kambing. Memang masing-masing dari keduanya memiliki persamaan dalam beberapa hal, misalnya masing-masing memiliki mata, kepala, kaki, membutuhkan makanan. Apakah hanya karena ada persamaan, lalu kemudian dianggap sama? Jika keduanya sama, maka tidak perlu nama yang berbeda. Adanya nama yang berbeda, itu menunjukkan bahwa memang keduanya berbeda. Hanya orang tak normal yang masih menganggap ayam sama dengan kambing, demikian pula orang yang menganggap demokrasi sama dengan musyawarah
Wallahu a’lam.

0 komentar